Senin, 30 Desember 2013
Kamis, 26 Desember 2013
Senin, 23 Desember 2013
Donasi 100 Buku dari Diva Press
Alhamdulillah, di peenghujung tahun 2013, Rumah Pelangi mendapat donasi 100 buku dari Penerbit Diva Press. Sebuah lecutan buat kami untuk menatap Rumah Pelangi di 2014. Semoga semakin tertata dan menambah banyak koleksi buku...
Minggu, 15 Desember 2013
100 buku gratis buat @ Taman Baca. Mau?
Bagi para pegiat Taman Bacaan Masyarakat. Salah satu yang membuat kita tidak bisa tidur nyenyak adalah, bagaimana kita bisa terus menambah koleksi buku baru, karena jika buku yang nongkrong di rak hanya itu-itu saja, kita jadi kasihan buat para pecinta buku yang datang ke Taman Bacaan Masyarakat yang kita kelola.
Nah, temen-temen pegiat Taman Bacaan Masyarakat. Ada kabar bahagia neh. Ada penerbit yang mau bagi-bagi buku. 100 buku lho...lumayan buat nambah koleksi Taman Bacaan Masyarakat yang kita kelola. Kegiatan ini diberi nama dengan #Aksisejutabukugratistamanbacaan.
Pasti temen-temen pengin tahu cara mendapatkannya bukan? Silahkan langsung ke TKP
http://ediakhiles.blogspot.com/2013/12/aksisejutabukugratistamanbacaan-mari.html?showComment=1387171102708#c1867277126857111527
Semoga Rumah Pelangi terus bisa mengabarkan akses buku yang bisa kita dapatkan secara gratis. Salam literasi... # Taman Bacaan Masyarakat
Nah, temen-temen pegiat Taman Bacaan Masyarakat. Ada kabar bahagia neh. Ada penerbit yang mau bagi-bagi buku. 100 buku lho...lumayan buat nambah koleksi Taman Bacaan Masyarakat yang kita kelola. Kegiatan ini diberi nama dengan #Aksisejutabukugratistamanbacaan.
Pasti temen-temen pengin tahu cara mendapatkannya bukan? Silahkan langsung ke TKP
http://ediakhiles.blogspot.com/2013/12/aksisejutabukugratistamanbacaan-mari.html?showComment=1387171102708#c1867277126857111527
Semoga Rumah Pelangi terus bisa mengabarkan akses buku yang bisa kita dapatkan secara gratis. Salam literasi... # Taman Bacaan Masyarakat
Sabtu, 14 Desember 2013
Meretas Literasi dari Taman Baca
Meretas
literasi dari taman baca*
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan,
jangan kauganggu permainanku ini."
(Perahu kertas-Sapardi Djoko Damono)
Dunia anak adalah
dunia imajinatif, ia hadir dan bergerak dengan segala rupa permainan yang ia
cipta sendiri bak berada di taman permainan yang begitu riuh dan riang. Ia
masuk, tenggelam, keluar dari dunianya sendiri tanpa ada beban yang
memberatkan. Dunia itulah yang harus kita hadirkan jika kita ingin merangksek
masuk untuk menghidangkan kue bernama literasi pada anak-anak.
Dengan atau tanpa
unsur yang dibuat-buat, agar materi yang diberikan tidak berasa dijejalkan
bahkan seakan dipaksakan untuk ditelan mentah. Jika disekolah formal berasa
kaku, bahkan berasa sunyi. Maka, harus ada ruang atau tempat untuk mereka
tumbuh-kembang sesuai fitrahnya. Dengan cara yang tak disentuh oleh yang namanya
pendidikan formal.
Bagaimana dengan
perpustakaan? Sebuah tempat yang semestinya diperuntukan untuk menyemai
literasi. Kesan bahwa perpustakaan adalah tempat yang penuh sesak dengan buku
semata tanpa ruang yang membuat kita bisa mengambil nafas, serta tidak diikuti
aktifitas yang bisa muncul dari ruang ataupun buku tersebut membuatnya berjarak
dengan masyarakat apalagi dengan anak-anak. Ia seakan menjadi terpisah diantara
riuh bangunan lainnya, juga berkesan seram alias angker. Streotip tersebut
dikuatkan dengan kejumudan dalam pengelolaan ruang, buku dan aktifitas oleh
para pengelolanya, walhasil genap sudah nasibnya menjadi tempat yang tak nyaman
untuk dikunjungi apalagi tempat untuk membaca. Sungguh punya beban berat jika
perpustakaan di Indonesia dengan kejumudannya diandalkan untuk memulai
langkahnya mengajak masuk ke dunia literasi
Lantas dimana tempat
itu? Dan bagaimana caranya? Sebuah pertanyaan yang harusnya diajukan oleh masyarakat
kepada para pemangku kebijakan. Ah…apakah kita termasuk orang yang suka
bertanya dan menjadi pemandu sorak belaka ketika ada permasalah yang ada di
sekitar kita. Tentu tidak ingin seperti itu bukan?
Taman
baca tempat menyemai benih literasi
Ditengah kondisi
keterpurukan perpustakaan, serta minimnya minat baca di masyarakat. Taman baca atau
rumah baca dengan ketidakkakuan ia dapat berkelindan kesana kemari menyapa usia
anak hingga dewasa, bahkan tua. Ya, taman baca menjadi ruang non formal sekaligus
media alternatif untuk menyemai literasi ia hadir mengisi ruang yang aplikatif
namun menyesuaikan keadaan masing-masing tempat, ia bahkan bisa bersenyawa
dengan kearifan lokal. Tidak terikat kurikulum yang mengikat. Justru itu yang
membuat taman baca menjadikan tempat meyemai benih yang memadai.
Jika kita menanam
sebatang pohon, maka dibutuhkan sebuah media tanam, jika media tanam itu baik,
maka tanaman itu akan tumbuh dan berkembang secara baik. Jika benih literasi
ditanam dimedia yang baik, niscaya akan tumbuh jua. Ya, media tanam itu adalah
taman baca. Kenapa taman baca sebagai media menanam dan menyemai benih
litarasi? Pertama, karena di taman baca terdapat unsur-unsur hara yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan literasi yakni, sebuah buku. Taman baca biasanya
menyediakan buku sesuai dengan segmen yang dibidiknya, jika ia berada di sebuah
desa, maka koleksinya menyesuikan logika desa, jika ia diperkotaan, maka
buku-bukunya berlogika kota. Bukan bermaksud medikotomikan desa dan kota, namun
buku yang sesuai dengan daerahnya sangat dibutuhkan. Jika taman baca itu
berdiri di daerah industri, dan terdapat banyak buruh, maka ia menghadirkan
buku-buku yang sesuai dengan segmen buruh.
Kedua, taman baca
melakukan eksplorasi pembelajaran disesuaikan dengan kelokalan masing-masing,
karena setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing. Sangat berbeda dengan
sekolah formal yang terikat kurikulum yang serba seragam dari ujung timur sampai
barat pulau Indonesia.
Ketiga, taman baca
kelahirannya serta kehadirannya dibidani oleh para pegiat literasi. Jadi, keberadaan
taman baca berada dalam asuhan yang baik. Tentu saja tidak semua taman baca
lahir dari pegiat literasi, ada juga taman baca yang lahir oleh para pegiat blockgrant, namun itu bukan berarti
mencirikan taman baca sebagai lahan mencari blockgrant.
Indikasi bahwa taman baca lahir oleh para pegiat literasi dapat dilihat di
group facebook forum taman bacaan
masyarakat (FTBM) para punggawanya adalah para pegiat literasi, disana
bertebaran nama-nama seperti Gol A Gong, Agus M Irkham, Firman Vinayaksa, Ali
Muakhir dan masih banyak lagi.
Keempat, taman baca
muncul dengan segala rupa kegiataannya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan
perpustakaan atau sekolah formal yang ada, yang biasanya hanya sekedar
menyuguhkan buku tanpa tahu harus diapakan buku tersebut. Di taman baca atau
rumah baca, buku adalah langkah awal untuk masuk kedalam dunia literasi. Nah,
yang membedakannya dengan perpustakaan dan sekolah formal, di taman baca tak
hanya sekedar menyuguhkan buku, namun ada kegiatan menulis yang merupakan tidak
lanjut atau pelengkap dari kegiatan membaca. Literasi tidak bisa dipisahkan antara
membaca dan menulis, ia ibarat uang koin dengan dua mata sisi yang tak
terpisah. Tak sekedar membaca dan menulis saja, disana juga ada kegiatan
apresiatif untuk sebuah karya, misalnya baca puisi, musikalisasi puisi, drama,
bedah buku bahkan juga kegiatan lainnya, karena tak terikat kurikulum ia bisa
menghadirkan bermusik, mendongeng, melukis, ketrampilan, outbond dan masih
banyak jenis kegiatan yang hadir di taman baca atau rumah baca.
Kelima, taman baca
tidak punya beban formal, misalnya mewajibkan para pengunjung harus memakai
sepatu atau berdasi pula. Ia layaknya sebuah taman yang semua orang bisa
singgah baik dari anak-anak sampai tua. Di taman itu ia bisa sekedar duduk,
bermain, berkejar-kejaran tidak harus takut dengan sang guru umar bakri yang
sok galak. Bebas bermain, itulah dunia yang diinginkan anak-anak, bahkan kita
jua bukan?
Mendirikan
taman baca itu sangat sederhana
Pertanyaan
yang kerap muncul adalah bagaimana mendirikan taman baca atau rumah baca dan
segala rupa nama lainnya. Sangat sederhana rumusnya, niat yang iklas, sediakan
buku beserta rak buku. Tempatkan di sudut ruang tamu kita atau di garasi kita,
bahkan juga bisa di teras depan rumah kita. Itu saja? Ya, kalau hanya sekadar
mendirikan taman baca, itu saja sangat cukup. Untuk sarana prasana yang lain
nanti menyusul sambil jalan, pasti banyak keajaiban-keajaiban yang muncul.
Entah donasi yang datang dari entah-berantah, relawan yang datang tak berbayar
dan yang lainnya.
Sederhana bukan?
Mendirikan taman baca bukan berarti menyediakan koleksi buku ribuan, rak buku
yang bagus, meja yang keren, alat pembejaran yang modern, dalam sekali waktu,
tetapi adalah memberikan ruang literasi yang “tepat” bagi lingkungan sekitar
agar literasi tumbuh-kembang dengan baik.
Taman baca yang hadir
di teras depan, dengan halaman yang cukup, dipandu dengan mentor yang memadai
akan bisa menghadirkan benih-benih literasi yang baik, tinggal bagaimana
merawat, menyiraminya, memberi pupuk. Jika itu dilakukan secara terus-menerus,
niscaya benih itu akan tumbuh dengan rindang serta meneduhkan.
*Aries Adenata-Pendiri Rumah Pelangi
Satu Rumah, Satu Rak Buku
KEMAMPUAN
anak-anak Indonesia usia
15 tahun dalam bidang matematika, sains, dan membaca, masih rendang
dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia. Programme for International Student Assessment 2012 menyebutkan
Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam
tes.
Penilaian
itu dipublikasikan Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD), Rabu (4/12). Indonesia hanya
sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking bawah. Rata-rata skor
matematika anak- anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata
skor untuk sains 382. Padahal, rata-rata skor versi OECD secara berurutan
adalah 494, 496, dan 501. (Kompas, 5/12/13).
Angka
itu mengartikan kemampuan membaca dan memahami bacaan pada anakanak Indonesia
masih sangat rendah. Akibatnya, kemampuan berkomunikasi (menggunakan bahasa)
baik lisan maupun tulisan pun sama rendahnya.
Itu
sebab, saat ini mendapati anak-anak yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah
dalam bentuk lisan, terutama tulisan, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apa
sebab kemampuan membaca dan memahami bacaan masih sangat rendah? Salah satunya
adalah karena mereka sejak mula tidak akrab dengan bacaan, khususnya dalam
bentuk buku.
Pengalaman
pramembaca tidak diperkenalkan sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka
dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka
ìtraumaî, lantaran jumlah halaman yang tebal dan isi yang melulu tulisan.
Kapan
dan di mana anak-anak sebaiknya diperkenalkan dengan pengalaman pramembaca?
Jawabannya, tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia 0 tahun. Bahkan sebelum
itu, yakni saat dalam kandungan. Caranya dengan membacakan isi bacaan. Lazim
disebut metode read aloud (membaca lantang).
Setelah
si bayi lahir, langkah memperkenalkan pengalaman pramembaca berikutnya adalah
dengan mendekatkan buku pada anak dari sisi fisiknya. Buku diakrabkan kepada
anak sebagai melulu benda, layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku
menjadi rusak, banyak halamannya rusak, dan di tiap pojok halaman geripis,
lantaran sering dicecap.
Harapannya
saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah
dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan
menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir-
hampir bersifat taken for granted (alamiah) belaka.
Pengalaman
pramembaca itu sudah barang tentu harus dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap
keluarga. Maka kehadiran perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa
diandaikan lagi.
Apa
sebab, kehadiran home library
penting untuk melancarkan program pengenalan pramembaca pada anak-anak?
Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca harus dibuatkan rumah yang
nyaman, sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang, dalam esai panjang ’’Dunia
Menulis dan Menulis Dunia’’(2011).
Properti
dan Literasi
Studi
Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5%
dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi
134 juta jiwa atau secara agregat, selama 7 tahun tumbuh 65%. Masih berdasarkan
studi Bank Dunia, kaum menengah baru di Indonesia menyumbang sekitar 70%
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan
itu didorong oleh konsumsi yang tergolong besar. Untuk belanja pakaian dan alas
kaki saja sudah Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa, termasuk beli rumah,
Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.
Kaitannya
dengan penciptaan rumah untuk membaca, besaran statistik itu merupakan potensi
(pasar dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis, terutama pengembang perumahan.
Kesempatan
dan peluang buat pengembang untuk membangun hunian yang tidak saja ramah
lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan kebutuhan penghuni. Salah satu
bentuk kebutuhan tersebut adalah keinginan supaya rumah yang dihuni dapat
menjadi tempat pertama memperkenalkan pengalaman pramembaca pada anak-anak.
Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang dilengkapi fasilitas ruang
untuk perpustakaan keluarga.
Paling
kurang satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan bukubuku kepengasuhan
(parenting) dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal.
Fasilitas perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, lebih khusus oleh
golongan menengah yang masuk ketegori The Aspirator.
Berdasarkan
hasil riset Center for Middle Class Consumer (Majalah SWAedisi 08/XXVIII/12-25
April 2012), The Aspirator dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis,
memiliki tujuan, serta menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini
umumnya hadir dari profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi,
serta peduli terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Jika
banyak orang pandai mengatakan bahwa perubahan sosial digerakkan oleh kelas
menengah maka kelas menengah kategori The Aspirator inilah yang memiliki
pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan tersebut. (10)
—
Agus M Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat
Forum Taman Bacaan Masyarakat
Sumber:
suaramerdeka.com
Senin, 09 Desember 2013
Logo Baru Rumah Pelangi
#Menuju Rumah Pelangi 2014, kami mulai berbenah diri, diawali dari melaunching logo baru Rumah Pelangi. Semoga dengan logo baru ini, menjadi semangat baru bagi kami...
Langganan:
Postingan (Atom)