Halaman

Senin, 23 Desember 2013

Donasi 100 Buku dari Diva Press

Alhamdulillah, di peenghujung tahun 2013, Rumah Pelangi mendapat donasi 100 buku dari Penerbit Diva Press. Sebuah lecutan buat kami untuk menatap Rumah Pelangi di 2014. Semoga semakin tertata dan menambah banyak koleksi buku...


Minggu, 15 Desember 2013

100 buku gratis buat @ Taman Baca. Mau?

Bagi para pegiat Taman Bacaan Masyarakat. Salah satu yang membuat kita tidak bisa tidur nyenyak adalah, bagaimana kita bisa terus menambah koleksi buku baru, karena jika buku yang nongkrong di rak hanya itu-itu saja, kita jadi kasihan buat para pecinta buku yang datang ke Taman Bacaan Masyarakat yang kita kelola.
Nah, temen-temen pegiat Taman Bacaan Masyarakat. Ada kabar bahagia neh. Ada penerbit yang mau bagi-bagi buku. 100 buku lho...lumayan buat nambah koleksi Taman Bacaan Masyarakat yang kita kelola. Kegiatan ini diberi nama dengan #Aksisejutabukugratistamanbacaan.

Pasti temen-temen pengin tahu cara mendapatkannya bukan? Silahkan langsung ke TKP
http://ediakhiles.blogspot.com/2013/12/aksisejutabukugratistamanbacaan-mari.html?showComment=1387171102708#c1867277126857111527

Semoga Rumah Pelangi terus bisa mengabarkan akses buku yang bisa kita dapatkan secara gratis. Salam literasi... # Taman Bacaan Masyarakat

Sabtu, 14 Desember 2013

Meretas Literasi dari Taman Baca



Meretas literasi dari taman baca*



Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung  yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan, jangan kauganggu permainanku ini."
(Perahu kertas-Sapardi Djoko Damono)
Dunia anak adalah dunia imajinatif, ia hadir dan bergerak dengan segala rupa permainan yang ia cipta sendiri bak berada di taman permainan yang begitu riuh dan riang. Ia masuk, tenggelam, keluar dari dunianya sendiri tanpa ada beban yang memberatkan. Dunia itulah yang harus kita hadirkan jika kita ingin merangksek masuk untuk menghidangkan kue bernama literasi pada anak-anak.
Dengan atau tanpa unsur yang dibuat-buat, agar materi yang diberikan tidak berasa dijejalkan bahkan seakan dipaksakan untuk ditelan mentah. Jika disekolah formal berasa kaku, bahkan berasa sunyi. Maka, harus ada ruang atau tempat untuk mereka tumbuh-kembang sesuai fitrahnya. Dengan cara yang tak disentuh oleh yang namanya pendidikan formal.
Bagaimana dengan perpustakaan? Sebuah tempat yang semestinya diperuntukan untuk menyemai literasi. Kesan bahwa perpustakaan adalah tempat yang penuh sesak dengan buku semata tanpa ruang yang membuat kita bisa mengambil nafas, serta tidak diikuti aktifitas yang bisa muncul dari ruang ataupun buku tersebut membuatnya berjarak dengan masyarakat apalagi dengan anak-anak. Ia seakan menjadi terpisah diantara riuh bangunan lainnya, juga berkesan seram alias angker. Streotip tersebut dikuatkan dengan kejumudan dalam pengelolaan ruang, buku dan aktifitas oleh para pengelolanya, walhasil genap sudah nasibnya menjadi tempat yang tak nyaman untuk dikunjungi apalagi tempat untuk membaca. Sungguh punya beban berat jika perpustakaan di Indonesia dengan kejumudannya diandalkan untuk memulai langkahnya mengajak masuk ke dunia literasi
Lantas dimana tempat itu? Dan bagaimana caranya? Sebuah pertanyaan yang harusnya diajukan oleh masyarakat kepada para pemangku kebijakan. Ah…apakah kita termasuk orang yang suka bertanya dan menjadi pemandu sorak belaka ketika ada permasalah yang ada di sekitar kita. Tentu tidak ingin seperti itu bukan?
Taman baca tempat menyemai benih literasi
Ditengah kondisi keterpurukan perpustakaan, serta minimnya minat baca di masyarakat. Taman baca atau rumah baca dengan ketidakkakuan ia dapat berkelindan kesana kemari menyapa usia anak hingga dewasa, bahkan tua. Ya, taman baca menjadi ruang non formal sekaligus media alternatif untuk menyemai literasi ia hadir mengisi ruang yang aplikatif namun menyesuaikan keadaan masing-masing tempat, ia bahkan bisa bersenyawa dengan kearifan lokal. Tidak terikat kurikulum yang mengikat. Justru itu yang membuat taman baca menjadikan tempat meyemai benih yang memadai.
Jika kita menanam sebatang pohon, maka dibutuhkan sebuah media tanam, jika media tanam itu baik, maka tanaman itu akan tumbuh dan berkembang secara baik. Jika benih literasi ditanam dimedia yang baik, niscaya akan tumbuh jua. Ya, media tanam itu adalah taman baca. Kenapa taman baca sebagai media menanam dan menyemai benih litarasi? Pertama, karena di taman baca terdapat unsur-unsur hara yang dibutuhkan bagi pertumbuhan literasi yakni, sebuah buku. Taman baca biasanya menyediakan buku sesuai dengan segmen yang dibidiknya, jika ia berada di sebuah desa, maka koleksinya menyesuikan logika desa, jika ia diperkotaan, maka buku-bukunya berlogika kota. Bukan bermaksud medikotomikan desa dan kota, namun buku yang sesuai dengan daerahnya sangat dibutuhkan. Jika taman baca itu berdiri di daerah industri, dan terdapat banyak buruh, maka ia menghadirkan buku-buku yang sesuai dengan segmen buruh.
Kedua, taman baca melakukan eksplorasi pembelajaran disesuaikan dengan kelokalan masing-masing, karena setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing. Sangat berbeda dengan sekolah formal yang terikat kurikulum yang serba seragam dari ujung timur sampai barat pulau Indonesia.
Ketiga, taman baca kelahirannya serta kehadirannya dibidani oleh para pegiat literasi. Jadi, keberadaan taman baca berada dalam asuhan yang baik. Tentu saja tidak semua taman baca lahir dari pegiat literasi, ada juga taman baca yang lahir oleh para pegiat blockgrant, namun itu bukan berarti mencirikan taman baca sebagai lahan mencari blockgrant. Indikasi bahwa taman baca lahir oleh para pegiat literasi dapat dilihat di group facebook forum taman bacaan masyarakat (FTBM) para punggawanya adalah para pegiat literasi, disana bertebaran nama-nama seperti Gol A Gong, Agus M Irkham, Firman Vinayaksa, Ali Muakhir dan masih banyak lagi.
Keempat, taman baca muncul dengan segala rupa kegiataannya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan perpustakaan atau sekolah formal yang ada, yang biasanya hanya sekedar menyuguhkan buku tanpa tahu harus diapakan buku tersebut. Di taman baca atau rumah baca, buku adalah langkah awal untuk masuk kedalam dunia literasi. Nah, yang membedakannya dengan perpustakaan dan sekolah formal, di taman baca tak hanya sekedar menyuguhkan buku, namun ada kegiatan menulis yang merupakan tidak lanjut atau pelengkap dari kegiatan membaca. Literasi tidak bisa dipisahkan antara membaca dan menulis, ia ibarat uang koin dengan dua mata sisi yang tak terpisah. Tak sekedar membaca dan menulis saja, disana juga ada kegiatan apresiatif untuk sebuah karya, misalnya baca puisi, musikalisasi puisi, drama, bedah buku bahkan juga kegiatan lainnya, karena tak terikat kurikulum ia bisa menghadirkan bermusik, mendongeng, melukis, ketrampilan, outbond dan masih banyak jenis kegiatan yang hadir di taman baca atau rumah baca.
Kelima, taman baca tidak punya beban formal, misalnya mewajibkan para pengunjung harus memakai sepatu atau berdasi pula. Ia layaknya sebuah taman yang semua orang bisa singgah baik dari anak-anak sampai tua. Di taman itu ia bisa sekedar duduk, bermain, berkejar-kejaran tidak harus takut dengan sang guru umar bakri yang sok galak. Bebas bermain, itulah dunia yang diinginkan anak-anak, bahkan kita jua bukan?
Mendirikan taman baca itu sangat sederhana
            Pertanyaan yang kerap muncul adalah bagaimana mendirikan taman baca atau rumah baca dan segala rupa nama lainnya. Sangat sederhana rumusnya, niat yang iklas, sediakan buku beserta rak buku. Tempatkan di sudut ruang tamu kita atau di garasi kita, bahkan juga bisa di teras depan rumah kita. Itu saja? Ya, kalau hanya sekadar mendirikan taman baca, itu saja sangat cukup. Untuk sarana prasana yang lain nanti menyusul sambil jalan, pasti banyak keajaiban-keajaiban yang muncul. Entah donasi yang datang dari entah-berantah, relawan yang datang tak berbayar dan yang lainnya.
Sederhana bukan? Mendirikan taman baca bukan berarti menyediakan koleksi buku ribuan, rak buku yang bagus, meja yang keren, alat pembejaran yang modern, dalam sekali waktu, tetapi adalah memberikan ruang literasi yang “tepat” bagi lingkungan sekitar agar literasi tumbuh-kembang dengan baik.
Taman baca yang hadir di teras depan, dengan halaman yang cukup, dipandu dengan mentor yang memadai akan bisa menghadirkan benih-benih literasi yang baik, tinggal bagaimana merawat, menyiraminya, memberi pupuk. Jika itu dilakukan secara terus-menerus, niscaya benih itu akan tumbuh dengan rindang serta meneduhkan.

*Aries Adenata-Pendiri Rumah Pelangi





Satu Rumah, Satu Rak Buku



KEMAMPUAN anak-anak Indonesia usia 15 tahun dalam bidang matematika, sains, dan membaca, masih rendang dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia. Programme for International Student Assessment 2012 menyebutkan Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam tes.
Penilaian itu dipublikasikan Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), Rabu (4/12). Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking bawah. Rata-rata skor matematika anak- anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata skor untuk sains 382. Padahal, rata-rata skor versi OECD secara berurutan adalah 494, 496, dan 501. (Kompas, 5/12/13).
Angka itu mengartikan kemampuan membaca dan memahami bacaan pada anakanak Indonesia masih sangat rendah. Akibatnya, kemampuan berkomunikasi (menggunakan bahasa) baik lisan maupun tulisan pun sama rendahnya.
Itu sebab, saat ini mendapati anak-anak yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk lisan, terutama tulisan, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apa sebab kemampuan membaca dan memahami bacaan masih sangat rendah? Salah satunya adalah karena mereka sejak mula tidak akrab dengan bacaan, khususnya dalam bentuk buku.
Pengalaman pramembaca tidak diperkenalkan sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka ìtraumaî, lantaran jumlah halaman yang tebal dan isi yang melulu tulisan.
Kapan dan di mana anak-anak sebaiknya diperkenalkan dengan pengalaman pramembaca? Jawabannya, tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia 0 tahun. Bahkan sebelum itu, yakni saat dalam kandungan. Caranya dengan membacakan isi bacaan. Lazim disebut metode read aloud (membaca lantang).
Setelah si bayi lahir, langkah memperkenalkan pengalaman pramembaca berikutnya adalah dengan mendekatkan buku pada anak dari sisi fisiknya. Buku diakrabkan kepada anak sebagai melulu benda, layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku menjadi rusak, banyak halamannya rusak, dan di tiap pojok halaman geripis, lantaran sering dicecap.
Harapannya saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir- hampir bersifat taken for granted (alamiah) belaka.
Pengalaman pramembaca itu sudah barang tentu harus dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap keluarga. Maka kehadiran perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa diandaikan lagi.
Apa sebab, kehadiran home library penting untuk melancarkan program pengenalan pramembaca pada anak-anak? Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca harus dibuatkan rumah yang nyaman, sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang, dalam esai panjang ’’Dunia Menulis dan Menulis Dunia’’(2011).
Properti dan Literasi
Studi Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5% dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi 134 juta jiwa atau secara agregat, selama 7 tahun tumbuh 65%. Masih berdasarkan studi Bank Dunia, kaum menengah baru di Indonesia menyumbang sekitar 70% pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan itu didorong oleh konsumsi yang tergolong besar. Untuk belanja pakaian dan alas kaki saja sudah Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa, termasuk beli rumah, Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.
Kaitannya dengan penciptaan rumah untuk membaca, besaran statistik itu merupakan potensi (pasar dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis, terutama pengembang perumahan.
Kesempatan dan peluang buat pengembang untuk membangun hunian yang tidak saja ramah lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan kebutuhan penghuni. Salah satu bentuk kebutuhan tersebut adalah keinginan supaya rumah yang dihuni dapat menjadi tempat pertama memperkenalkan pengalaman pramembaca pada anak-anak. Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang dilengkapi fasilitas ruang untuk perpustakaan keluarga.
Paling kurang satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan bukubuku kepengasuhan (parenting) dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal. Fasilitas perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, lebih khusus oleh golongan menengah yang masuk ketegori The Aspirator.
Berdasarkan hasil riset Center for Middle Class Consumer (Majalah SWAedisi 08/XXVIII/12-25 April 2012), The Aspirator dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis, memiliki tujuan, serta menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini umumnya hadir dari profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi, serta peduli terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Jika banyak orang pandai mengatakan bahwa perubahan sosial digerakkan oleh kelas menengah maka kelas menengah kategori The Aspirator inilah yang memiliki pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan tersebut. (10)
— Agus M Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum Taman Bacaan Masyarakat
Sumber: suaramerdeka.com

Senin, 09 Desember 2013

Logo Baru Rumah Pelangi

#Menuju Rumah Pelangi 2014, kami mulai berbenah diri, diawali dari melaunching logo baru Rumah Pelangi. Semoga dengan logo baru ini, menjadi semangat baru bagi kami...