Meretas
literasi dari taman baca*
Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk pada gelombang, menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci.
"Tuan,
jangan kauganggu permainanku ini."
(Perahu kertas-Sapardi Djoko Damono)
Dunia anak adalah
dunia imajinatif, ia hadir dan bergerak dengan segala rupa permainan yang ia
cipta sendiri bak berada di taman permainan yang begitu riuh dan riang. Ia
masuk, tenggelam, keluar dari dunianya sendiri tanpa ada beban yang
memberatkan. Dunia itulah yang harus kita hadirkan jika kita ingin merangksek
masuk untuk menghidangkan kue bernama literasi pada anak-anak.
Dengan atau tanpa
unsur yang dibuat-buat, agar materi yang diberikan tidak berasa dijejalkan
bahkan seakan dipaksakan untuk ditelan mentah. Jika disekolah formal berasa
kaku, bahkan berasa sunyi. Maka, harus ada ruang atau tempat untuk mereka
tumbuh-kembang sesuai fitrahnya. Dengan cara yang tak disentuh oleh yang namanya
pendidikan formal.
Bagaimana dengan
perpustakaan? Sebuah tempat yang semestinya diperuntukan untuk menyemai
literasi. Kesan bahwa perpustakaan adalah tempat yang penuh sesak dengan buku
semata tanpa ruang yang membuat kita bisa mengambil nafas, serta tidak diikuti
aktifitas yang bisa muncul dari ruang ataupun buku tersebut membuatnya berjarak
dengan masyarakat apalagi dengan anak-anak. Ia seakan menjadi terpisah diantara
riuh bangunan lainnya, juga berkesan seram alias angker. Streotip tersebut
dikuatkan dengan kejumudan dalam pengelolaan ruang, buku dan aktifitas oleh
para pengelolanya, walhasil genap sudah nasibnya menjadi tempat yang tak nyaman
untuk dikunjungi apalagi tempat untuk membaca. Sungguh punya beban berat jika
perpustakaan di Indonesia dengan kejumudannya diandalkan untuk memulai
langkahnya mengajak masuk ke dunia literasi
Lantas dimana tempat
itu? Dan bagaimana caranya? Sebuah pertanyaan yang harusnya diajukan oleh masyarakat
kepada para pemangku kebijakan. Ah…apakah kita termasuk orang yang suka
bertanya dan menjadi pemandu sorak belaka ketika ada permasalah yang ada di
sekitar kita. Tentu tidak ingin seperti itu bukan?
Taman
baca tempat menyemai benih literasi
Ditengah kondisi
keterpurukan perpustakaan, serta minimnya minat baca di masyarakat. Taman baca atau
rumah baca dengan ketidakkakuan ia dapat berkelindan kesana kemari menyapa usia
anak hingga dewasa, bahkan tua. Ya, taman baca menjadi ruang non formal sekaligus
media alternatif untuk menyemai literasi ia hadir mengisi ruang yang aplikatif
namun menyesuaikan keadaan masing-masing tempat, ia bahkan bisa bersenyawa
dengan kearifan lokal. Tidak terikat kurikulum yang mengikat. Justru itu yang
membuat taman baca menjadikan tempat meyemai benih yang memadai.
Jika kita menanam
sebatang pohon, maka dibutuhkan sebuah media tanam, jika media tanam itu baik,
maka tanaman itu akan tumbuh dan berkembang secara baik. Jika benih literasi
ditanam dimedia yang baik, niscaya akan tumbuh jua. Ya, media tanam itu adalah
taman baca. Kenapa taman baca sebagai media menanam dan menyemai benih
litarasi? Pertama, karena di taman baca terdapat unsur-unsur hara yang
dibutuhkan bagi pertumbuhan literasi yakni, sebuah buku. Taman baca biasanya
menyediakan buku sesuai dengan segmen yang dibidiknya, jika ia berada di sebuah
desa, maka koleksinya menyesuikan logika desa, jika ia diperkotaan, maka
buku-bukunya berlogika kota. Bukan bermaksud medikotomikan desa dan kota, namun
buku yang sesuai dengan daerahnya sangat dibutuhkan. Jika taman baca itu
berdiri di daerah industri, dan terdapat banyak buruh, maka ia menghadirkan
buku-buku yang sesuai dengan segmen buruh.
Kedua, taman baca
melakukan eksplorasi pembelajaran disesuaikan dengan kelokalan masing-masing,
karena setiap daerah mempunyai keunikan masing-masing. Sangat berbeda dengan
sekolah formal yang terikat kurikulum yang serba seragam dari ujung timur sampai
barat pulau Indonesia.
Ketiga, taman baca
kelahirannya serta kehadirannya dibidani oleh para pegiat literasi. Jadi, keberadaan
taman baca berada dalam asuhan yang baik. Tentu saja tidak semua taman baca
lahir dari pegiat literasi, ada juga taman baca yang lahir oleh para pegiat blockgrant, namun itu bukan berarti
mencirikan taman baca sebagai lahan mencari blockgrant.
Indikasi bahwa taman baca lahir oleh para pegiat literasi dapat dilihat di
group facebook forum taman bacaan
masyarakat (FTBM) para punggawanya adalah para pegiat literasi, disana
bertebaran nama-nama seperti Gol A Gong, Agus M Irkham, Firman Vinayaksa, Ali
Muakhir dan masih banyak lagi.
Keempat, taman baca
muncul dengan segala rupa kegiataannya. Sangat jauh jika dibandingkan dengan
perpustakaan atau sekolah formal yang ada, yang biasanya hanya sekedar
menyuguhkan buku tanpa tahu harus diapakan buku tersebut. Di taman baca atau
rumah baca, buku adalah langkah awal untuk masuk kedalam dunia literasi. Nah,
yang membedakannya dengan perpustakaan dan sekolah formal, di taman baca tak
hanya sekedar menyuguhkan buku, namun ada kegiatan menulis yang merupakan tidak
lanjut atau pelengkap dari kegiatan membaca. Literasi tidak bisa dipisahkan antara
membaca dan menulis, ia ibarat uang koin dengan dua mata sisi yang tak
terpisah. Tak sekedar membaca dan menulis saja, disana juga ada kegiatan
apresiatif untuk sebuah karya, misalnya baca puisi, musikalisasi puisi, drama,
bedah buku bahkan juga kegiatan lainnya, karena tak terikat kurikulum ia bisa
menghadirkan bermusik, mendongeng, melukis, ketrampilan, outbond dan masih
banyak jenis kegiatan yang hadir di taman baca atau rumah baca.
Kelima, taman baca
tidak punya beban formal, misalnya mewajibkan para pengunjung harus memakai
sepatu atau berdasi pula. Ia layaknya sebuah taman yang semua orang bisa
singgah baik dari anak-anak sampai tua. Di taman itu ia bisa sekedar duduk,
bermain, berkejar-kejaran tidak harus takut dengan sang guru umar bakri yang
sok galak. Bebas bermain, itulah dunia yang diinginkan anak-anak, bahkan kita
jua bukan?
Mendirikan
taman baca itu sangat sederhana
Pertanyaan
yang kerap muncul adalah bagaimana mendirikan taman baca atau rumah baca dan
segala rupa nama lainnya. Sangat sederhana rumusnya, niat yang iklas, sediakan
buku beserta rak buku. Tempatkan di sudut ruang tamu kita atau di garasi kita,
bahkan juga bisa di teras depan rumah kita. Itu saja? Ya, kalau hanya sekadar
mendirikan taman baca, itu saja sangat cukup. Untuk sarana prasana yang lain
nanti menyusul sambil jalan, pasti banyak keajaiban-keajaiban yang muncul.
Entah donasi yang datang dari entah-berantah, relawan yang datang tak berbayar
dan yang lainnya.
Sederhana bukan?
Mendirikan taman baca bukan berarti menyediakan koleksi buku ribuan, rak buku
yang bagus, meja yang keren, alat pembejaran yang modern, dalam sekali waktu,
tetapi adalah memberikan ruang literasi yang “tepat” bagi lingkungan sekitar
agar literasi tumbuh-kembang dengan baik.
Taman baca yang hadir
di teras depan, dengan halaman yang cukup, dipandu dengan mentor yang memadai
akan bisa menghadirkan benih-benih literasi yang baik, tinggal bagaimana
merawat, menyiraminya, memberi pupuk. Jika itu dilakukan secara terus-menerus,
niscaya benih itu akan tumbuh dengan rindang serta meneduhkan.
*Aries Adenata-Pendiri Rumah Pelangi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar