KEMAMPUAN
anak-anak Indonesia usia
15 tahun dalam bidang matematika, sains, dan membaca, masih rendang
dibandingkan dengan anak-anak lain di dunia. Programme for International Student Assessment 2012 menyebutkan
Indonesia berada pada peringkat ke-64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam
tes.
Penilaian
itu dipublikasikan Organization for Economic
Cooperation and Development (OECD), Rabu (4/12). Indonesia hanya
sedikit lebih baik dari Peru yang berada di ranking bawah. Rata-rata skor
matematika anak- anak Indonesia 375, rata-rata skor membaca 396, dan rata-rata
skor untuk sains 382. Padahal, rata-rata skor versi OECD secara berurutan
adalah 494, 496, dan 501. (Kompas, 5/12/13).
Angka
itu mengartikan kemampuan membaca dan memahami bacaan pada anakanak Indonesia
masih sangat rendah. Akibatnya, kemampuan berkomunikasi (menggunakan bahasa)
baik lisan maupun tulisan pun sama rendahnya.
Itu
sebab, saat ini mendapati anak-anak yang mampu menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah
dalam bentuk lisan, terutama tulisan, bak mencari jarum di tumpukan jerami. Apa
sebab kemampuan membaca dan memahami bacaan masih sangat rendah? Salah satunya
adalah karena mereka sejak mula tidak akrab dengan bacaan, khususnya dalam
bentuk buku.
Pengalaman
pramembaca tidak diperkenalkan sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka
dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka
ìtraumaî, lantaran jumlah halaman yang tebal dan isi yang melulu tulisan.
Kapan
dan di mana anak-anak sebaiknya diperkenalkan dengan pengalaman pramembaca?
Jawabannya, tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia 0 tahun. Bahkan sebelum
itu, yakni saat dalam kandungan. Caranya dengan membacakan isi bacaan. Lazim
disebut metode read aloud (membaca lantang).
Setelah
si bayi lahir, langkah memperkenalkan pengalaman pramembaca berikutnya adalah
dengan mendekatkan buku pada anak dari sisi fisiknya. Buku diakrabkan kepada
anak sebagai melulu benda, layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku
menjadi rusak, banyak halamannya rusak, dan di tiap pojok halaman geripis,
lantaran sering dicecap.
Harapannya
saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah
dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan
menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir-
hampir bersifat taken for granted (alamiah) belaka.
Pengalaman
pramembaca itu sudah barang tentu harus dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap
keluarga. Maka kehadiran perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa
diandaikan lagi.
Apa
sebab, kehadiran home library
penting untuk melancarkan program pengenalan pramembaca pada anak-anak?
Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca harus dibuatkan rumah yang
nyaman, sebagaimana dikatakan Yasraf Amir Piliang, dalam esai panjang ’’Dunia
Menulis dan Menulis Dunia’’(2011).
Properti
dan Literasi
Studi
Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5%
dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi
134 juta jiwa atau secara agregat, selama 7 tahun tumbuh 65%. Masih berdasarkan
studi Bank Dunia, kaum menengah baru di Indonesia menyumbang sekitar 70%
pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan
itu didorong oleh konsumsi yang tergolong besar. Untuk belanja pakaian dan alas
kaki saja sudah Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa, termasuk beli rumah,
Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.
Kaitannya
dengan penciptaan rumah untuk membaca, besaran statistik itu merupakan potensi
(pasar dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis, terutama pengembang perumahan.
Kesempatan
dan peluang buat pengembang untuk membangun hunian yang tidak saja ramah
lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan kebutuhan penghuni. Salah satu
bentuk kebutuhan tersebut adalah keinginan supaya rumah yang dihuni dapat
menjadi tempat pertama memperkenalkan pengalaman pramembaca pada anak-anak.
Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang dilengkapi fasilitas ruang
untuk perpustakaan keluarga.
Paling
kurang satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan bukubuku kepengasuhan
(parenting) dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal.
Fasilitas perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, lebih khusus oleh
golongan menengah yang masuk ketegori The Aspirator.
Berdasarkan
hasil riset Center for Middle Class Consumer (Majalah SWAedisi 08/XXVIII/12-25
April 2012), The Aspirator dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis,
memiliki tujuan, serta menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini
umumnya hadir dari profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi,
serta peduli terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Jika
banyak orang pandai mengatakan bahwa perubahan sosial digerakkan oleh kelas
menengah maka kelas menengah kategori The Aspirator inilah yang memiliki
pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan tersebut. (10)
—
Agus M Irkham, Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat
Forum Taman Bacaan Masyarakat
Sumber:
suaramerdeka.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar